Mei, 2016
Hari ini tepat seminggu setelah
aku bersumpah untuk menjalankan apa yang telah Hipokrates tuliskan. Akhirnya
aku dapat menyematkan gelar dokter di depan namaku secara legal dan mengobati
pasien dengan legal (setelah sebelumnya beberapa kali diminta menggantikan praktek
dokter-dokter senior sebelum memiliki surat izin praktek secara resmi di masa pendidikan klinisku).
Menjadi dokter adalah satu proses
panjang, bahkan setelah akhirnya bergelar dokter masih dalam dimensi proses
pembelajaran yang sama ketika menjadi mahasiswa kedokteran. Ilmu-ilmu kedokteran
yang terus berkembang dan ilmu-ilmu paten di masa lampau yang harus selalu
kembali dipelajari menjadi pengingat bahwa menjadi dokter bukan suatu akhir,
namun proses. Ada satu masa ketika aku
menyadari bahwa menjadi dokter adalah hal yang begitu mengerikan. Mengapa?
Karena dokter satu langkah lebih maju dari pasien, telah terbiasa bertemu
dengan berbagai kasus yang ada dan menganalisis prognosis dari setiap kasus
tersebut.
Masih jelas teringat dalam
ingatanku, ketika aku berada di bulan-bulan akhir masa pendidikan klinisku di
rumah sakit, ibuku menelpon seperti biasa selepas waktu isya. Beliau
menyampaikan bahwa mbah kakung kami terinfeksi bakteri M tuberculosis dan aku hanya bisa
meneteskan air mata di sudut telepon. Mungkin dokter ahli paru-paru sudah
menjelaskan hal tersebut hanyalah infeksi paru-paru biasa sama halnya dengan
infeksi tenggorokan yang biasa terjadi. Hal ini lazim mengingat daerah kami
tinggal memiliki prevalensi yang tinggi untuk penyakit ini. Namun hal ini tentu
mengerikan untukku, setelah melewati rotasi klinis di bangsal paru-paru di
rumah sakit rujukan utama tingkat provinsi. Aku telah menjumpai pasien-pasien
tuberkulosis dengan kondisi klinis yang sangat buruk, dengan komplikasi di
organ tubuh lain, atau bahkan telah mengalami resistensi antibiotik lini
pertama.
Setelah ibuku menutup panggilan
itu, aku hanya bisa terdiam. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang terlintas di
benakku. Beliau akan menghabiskan beberapa waktu terbaring di rumah sakit,
kondisinya akan memburuk, dan yang pasti aku akan berusaha pulang di setiap
waktu luangku untuk merawatnya. Beliau memahami kekhawatiranku
dan mencoba menenangkan bahwa ini hanya infeksi biasa. Beliau yang sembuh dan
kondisi klinisnya akan baik-baik saja. Beliau hanya perlu meminum obat setiap
hari hingga enam bulan berikutnya, menjalani pemeriksaan radiologi pada
paru-parunya untuk memantau penyebaran infeksi, dan semuanya akan baik-baik
saja diakhir pengobatan.
Mungkin aku terlalu khawatir,
namun aku cukup terpukul. Mengingat nenekku baru beberapa tahun yang lalu
meninggal akibat sepsis yang merupakan komplikasi dari penyakit tuberkulosis tersebut. Masih
terbayang dalam benakku, beliau hanya terbaring lemas di rumah sakit dan
badannya begitu kurus, hingga tulang pinggulnya begitu menonjol. Memori itu
selalu kembali karena hal itu cukup menyakitkan bagi kami karena beliau tidak
pernah bercerita tentang penyakitnya dan
tentu saja tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat atas penyakitnya.
Pada awal pengobatan beliau, aku
selalu berusaha pulang dengan cara menukar jadwal jagaku di akhir pekan agar
bisa memantau kondisi mbah kakung kami. Kondisi fisiknya baik, Alhamdulillah, karena
beliau cukup rajin untuk berolahraga. Namun batuk di malam harinya cukup parah.
Alhamdulillah beliau tidak mengalami penurunan berat badan yang berarti,
alih-alih beliau komplain dengan bobotnya yang terus naik, salah satu efek
samping pengobatan tuberkulosis. Aku sampaikan bahwa air kencingnya akan
berwarna merah dan beliau tidak perlu khawatir karena itu merupakan efek
samping dari salah satu obat. Aku juga selalu mengecek apakah beliau mengalami
efek samping pengobatan yang lain seperti pada pendengaran, penglihatan, dan
saraf-saraf tepi.
Mungkin terdengar paranoid namun
begitu adanya. Terlalu sering menjumpai pasien-pasien dengan tingkat keparahan
cukup tinggi membuatku cukup khawatir dengan kondisi beliau. Namun
Alhamdulillah, pengobatan enam bulan beliau telah selesai, hanya menunggu
hasil radiologi dari gambaran paru-paru beliau. Penyakit ini memiliki tingkat
kekambuhan yang cukup tinggi sehingga kami sarankan beliau untuk selalu menjaga
daya tahan tubuhnya.
Dan aku kembali tersadar bahwa
salah satu hal terpenting dalam hidup adalah keluarga. Tempat di mana kita kembali,
tempat di mana kita tau di mana kita harus pulang, itulah keluarga.