16-17 September 2009
21.30 - 01.00
Subhanallah. Malam ini sungguh penuh arti.
Pukul 21.30
Malam itu…
Aku berangkat tanpa niat apa pun. Sekedar menemani ayahku untuk mengikuti semacam doa bersama di Masjid Agung. Awalnya, kukira masjid hanya terisi sedikit umatNya. Subhanallah, ternyata ada ratusan orang dari penjuru kabupaten datang dengan niat yang jelas. Dan aku datang dengan setumpuk kegelisahan dan terus mempertanyakan eksistensiNya. Kegelisahan yang datang sejak awal Ramadhan yang membuatku putus asa akan mendapat rahmatNya. Aku yang begitu mudahnya diuji imannya hanya karena cobaan kecil dariNya, hanya karena pertanyaan sederhana dariNya. Siapkan aku menghadapi kematian? Siapkan aku untuk menemui kiamat?
Aku duduk di teras depan masjid. Tanpa mengenal seorang pun. Kegelisahan itu terus datang, jika mengingat seorang kerabat yang sedang terbaring kritis di rumah sakit dan mengingat akan siksaan kubur. Subhanallah, begitu banyak dosa yang aku perbuat selama 16 tahun, dan berapa banyak amal yang sudah kukumpulkan? Sholat pun kadang bukan karenaNya, tapi terpaksa. Sholat pun kadang tak khusyuk. Arti khusyuk pun sering kabur, tak tau bagaimana mengartikan sholat yang khusyuk. Sholat pun kadang aku tak tau apa tujuannya. Padahal aku berhijab, sesuatu yang membuat seorang wanita begitu mulia di hadapanNya.
Ternyata doa bersama malam itu dzikir ghofili. Aku kembali tak tau. Masya Allah begitu banyak hal yang aku tak tau dalam hidupku, padahal aku sudah hampir menjalani sepertiga usia Nabi. Dzikir malam itu melantunkan ratusan al fatihah. Banyak orang yang tak tahan menahan kantuk. Miris melihatnya. Mereka datang dari jarak yang tidak dekat, padahal dengan niat yang mulia. Tapi tidak bisa menahan godaan kantuk. Aku berusaha untuk terus mengingatNya, memanggilNya dengan ratusan al fatihah. Tapi Ia tak kunjung datang. Kegelisahan itu kembali muncul. Aku hampir putus asa untuk berusaha. CobaanNya kali ini begitu berat. Ia menguji keimananku. Benarkan Ia ada? Kenapa tak sedikit pun Dia melihatku yang meragukanNya? Aku tertegun melihat seorang ibu di sebelahku yang tersenyum padaku. Ibu itu maaf, cacat, dan masih bisa tersenyum dan menyapaku. Bahkan ibu itu masih sempat memujiku yang datang di tengah mayoritas orang-orang “sepuh” .
Aku langsung teringat kata ibuku yang sudah begitu lama terlupa. Terima kasih Allah sudah mengingatkan ku sehingga aku kembali yakin akan kebesaranMu. “Kalau memang dzat itu sudah kodratnya mati, ya mati. Kematian tidak bisa ditunda. Tinggal bagaimana kita mempersiapkan kehidupan setelah mati. Jangan mempermasalahkan ketakutan akan kematian. Karena semakin banyak pikiran kita yang terkuras akan kematian, semakin sedikit kita ingat padaNya.”
Dan Allah tak akan memberikan cobaan di luar kemampuan makhlukNya.
Pukul 00.00
Acara berakhir. Masjid kembali senyap. Aku bergegas menuju shaf depan. Di sebelahku, ada seorang wanita tua yang mungkin sudah mulai rapuh ingatannya. Sholatnya mungkin terlihat asal-asalan dan seperti tidak melafalkan apapun, bahkan pandangannya berkeliaran dan kadang terkesan kosong, tapi yang membuatku kagum, di malam selarut ini, beliau masih terbangun untuk mencari Lailatul Qadar. Berdiri pun beliau sulit, tapi beliau sama sekali tidak tergerak untuk sholat dalam duduk. Aku semakin kagum melihat banyaknya jamaah malam itu. Aku menangis kembali. Aku datang menghadapNya. Tak tau apa tujuanNya. Untuk siapa sholatku? Untuk apa aku sholat?
17 September 2009
Subhanallah. Benarkah kemarin adalah firasat?
Baru kemarin, aku terus meragukan diriku akan imanku, akan kesiapanku menghadapi ajalku, ternyata seorang kerabat mendahuluiku ketika aku masih ragu akan diriku sendiri.
Belum sempat aku menjenguk dan mendoakan untuk kesembuhannya, kerabat kami sudah dipanggil olehNya. Sungguh berat. Ramadhan kali ini sungguh penuh cobaan. Berusaha untuk mensyukuri cobaan yang datang, tapi sulit. Menghadapinya saja sangat berat, apalagi mensyukuri? Tapi, dengan diawali niat yang bulat, cobaan itu dijalani dengan diambil hikmahnya. Bismillah.
21.30 - 01.00
Subhanallah. Malam ini sungguh penuh arti.
Pukul 21.30
Malam itu…
Aku berangkat tanpa niat apa pun. Sekedar menemani ayahku untuk mengikuti semacam doa bersama di Masjid Agung. Awalnya, kukira masjid hanya terisi sedikit umatNya. Subhanallah, ternyata ada ratusan orang dari penjuru kabupaten datang dengan niat yang jelas. Dan aku datang dengan setumpuk kegelisahan dan terus mempertanyakan eksistensiNya. Kegelisahan yang datang sejak awal Ramadhan yang membuatku putus asa akan mendapat rahmatNya. Aku yang begitu mudahnya diuji imannya hanya karena cobaan kecil dariNya, hanya karena pertanyaan sederhana dariNya. Siapkan aku menghadapi kematian? Siapkan aku untuk menemui kiamat?
Aku duduk di teras depan masjid. Tanpa mengenal seorang pun. Kegelisahan itu terus datang, jika mengingat seorang kerabat yang sedang terbaring kritis di rumah sakit dan mengingat akan siksaan kubur. Subhanallah, begitu banyak dosa yang aku perbuat selama 16 tahun, dan berapa banyak amal yang sudah kukumpulkan? Sholat pun kadang bukan karenaNya, tapi terpaksa. Sholat pun kadang tak khusyuk. Arti khusyuk pun sering kabur, tak tau bagaimana mengartikan sholat yang khusyuk. Sholat pun kadang aku tak tau apa tujuannya. Padahal aku berhijab, sesuatu yang membuat seorang wanita begitu mulia di hadapanNya.
Ternyata doa bersama malam itu dzikir ghofili. Aku kembali tak tau. Masya Allah begitu banyak hal yang aku tak tau dalam hidupku, padahal aku sudah hampir menjalani sepertiga usia Nabi. Dzikir malam itu melantunkan ratusan al fatihah. Banyak orang yang tak tahan menahan kantuk. Miris melihatnya. Mereka datang dari jarak yang tidak dekat, padahal dengan niat yang mulia. Tapi tidak bisa menahan godaan kantuk. Aku berusaha untuk terus mengingatNya, memanggilNya dengan ratusan al fatihah. Tapi Ia tak kunjung datang. Kegelisahan itu kembali muncul. Aku hampir putus asa untuk berusaha. CobaanNya kali ini begitu berat. Ia menguji keimananku. Benarkan Ia ada? Kenapa tak sedikit pun Dia melihatku yang meragukanNya? Aku tertegun melihat seorang ibu di sebelahku yang tersenyum padaku. Ibu itu maaf, cacat, dan masih bisa tersenyum dan menyapaku. Bahkan ibu itu masih sempat memujiku yang datang di tengah mayoritas orang-orang “sepuh” .
Aku langsung teringat kata ibuku yang sudah begitu lama terlupa. Terima kasih Allah sudah mengingatkan ku sehingga aku kembali yakin akan kebesaranMu. “Kalau memang dzat itu sudah kodratnya mati, ya mati. Kematian tidak bisa ditunda. Tinggal bagaimana kita mempersiapkan kehidupan setelah mati. Jangan mempermasalahkan ketakutan akan kematian. Karena semakin banyak pikiran kita yang terkuras akan kematian, semakin sedikit kita ingat padaNya.”
Dan Allah tak akan memberikan cobaan di luar kemampuan makhlukNya.
Pukul 00.00
Acara berakhir. Masjid kembali senyap. Aku bergegas menuju shaf depan. Di sebelahku, ada seorang wanita tua yang mungkin sudah mulai rapuh ingatannya. Sholatnya mungkin terlihat asal-asalan dan seperti tidak melafalkan apapun, bahkan pandangannya berkeliaran dan kadang terkesan kosong, tapi yang membuatku kagum, di malam selarut ini, beliau masih terbangun untuk mencari Lailatul Qadar. Berdiri pun beliau sulit, tapi beliau sama sekali tidak tergerak untuk sholat dalam duduk. Aku semakin kagum melihat banyaknya jamaah malam itu. Aku menangis kembali. Aku datang menghadapNya. Tak tau apa tujuanNya. Untuk siapa sholatku? Untuk apa aku sholat?
17 September 2009
Subhanallah. Benarkah kemarin adalah firasat?
Baru kemarin, aku terus meragukan diriku akan imanku, akan kesiapanku menghadapi ajalku, ternyata seorang kerabat mendahuluiku ketika aku masih ragu akan diriku sendiri.
Belum sempat aku menjenguk dan mendoakan untuk kesembuhannya, kerabat kami sudah dipanggil olehNya. Sungguh berat. Ramadhan kali ini sungguh penuh cobaan. Berusaha untuk mensyukuri cobaan yang datang, tapi sulit. Menghadapinya saja sangat berat, apalagi mensyukuri? Tapi, dengan diawali niat yang bulat, cobaan itu dijalani dengan diambil hikmahnya. Bismillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar