Finally!
Alert: posting ini bukan
menceritakan review film sepenuhnya.
Setelah wacana hampir setaun yang
lalu mau nonton bareng, kami berenam, Aku,
Yoko, Lynda, Tiara, Inang,dan Ajeng akhirnya bisa kumpul lagi. Rencana
untuk nonton kali ini pun sudah digembar-gemborkan Lynda sejak sebulan yang
lalu, waktu trailer film ini baru muncul di Youtube. Sebenarnya nggak bisa
dibilang jarang ketemu, terlalu sering malah. Semuanya satu kos, kecuali Yoko. Apalagi
kita semua dari Kebumen, dan bersekolah di tempat yang sama sejak SMP. Bahkan
dengan Lynda, yang bareng sejak SD, dan sempat duduk sebangku.
Kenapa harus 99 Cahaya di Langit
Eropa? Simpel, karena Aku, Yoko, dan Lynda adalah penikmat buku itu sejak dua
tahun yang lalu. Kemudian kami begitu excited ketika buku itu akan difilmkan. Walau
di antara kami hanya Lynda yang menonton bagian pertama, toh akhirnya kami berenam
tidak mempermasalahkan. Terbayang olehku panorama Wiena, Cordoba, Paris, bahkan
Istanbul akan memenuhi di sekuel film
tersebut. Tapi ternyata semua harapan itu tidak sepenuhnya terwujud.
Meski aku sudah agak lupa bagaimana alur
cerita buku itu, aku masih ingat beberapa bagian tentang perjalanan Hanum ke
Cordoba dan Istanbul (yang katanya mendominasi bagian kedua ini). Jadi harap
kecewa bagi penggemar film dengan dramatisasi panorama ketika menonton film ini.
Terlalu sedikit porsi untuk pemandangan indah Eropa yang ditampilkan. Mungkin
memang sengaja menampilkan sisi lain dari buku itu, yaitu tentang kehidupan
Hanum dan Rangga di Eropa.
Benar, separuh dari film ini
berhasil bikin gigit jari para jomblo yang nonton dan juga kami berenam minus
Ajeng yang sudah in relationship. Gimana nggak, dari awal film ini memamerkan
romantisnya Rangga terhadap Hanum. Aku bisa mendengar jejeritan “iiiih so sweeeet
:3” sepanjang film ini. *Termasuk aku :p*
Inilah list keromantisan Rangga
yang berhasil menuai teriakan iri para jomblo di studio satu XXI Solo Square
yang berhasil aku ingat:
1. Sewaktu Hanum ulang tahun, Rangga memberikan sebuah kado spesial yang sudah dipersiapkan selama setahun, yaitu video tentang bagaimana kangennya Rangga ketika Hanum belum menemaninya di Eropa. Tapi scene ini gagal membuatku iri. Ketika akhirnya Hanum berlarian sambil menitikkan air mata untuk mencari Rangga yang keluar rumah *karena diusir secara halus oleh Hanum ketika bertengkar* dan akhirnya menemukan Rangga,
Tiara mengomentari scene ini.
“Kamu kok tau aku di sini” kata Rangga
Dan Tiara menyela, “Kan kamu ada GPS nya mas” Well said -_-
2. Ada
cerita lain ketika Hanum mengijinkan Rangga pergi ke ballroom untuk menghadiri
acara dansa dengan seorang rekan kerja perempuannya,
Rangga berkata “Kamu nggak apa-apa aku dansa sama wanita lain?”
“Waltz itu kan satu budaya di Wienna, aku bakal bangga liat kamu dansa di sana. But, save the last dance for me, please?” pinta Hanum. Ini hampir bikin aku gigit jari.
Tapi kemudian dengan kocaknya, Rangga menimpali,
“Alaaah, biasa
makan ikan asin sama sambel tempe aja gaya, pake save the last dance for me”.
Oke untuk kedua kalinya kalian gagal bikin gigit jari.
Oke untuk kedua kalinya kalian gagal bikin gigit jari.
Tapiiiii yang super bikin cubit-cubit di tangan Yoko itu ketika Rangga memberikan kado spesial lagi berupa tiket perjalanan mereka bedua ke Cordoba yang sudah diinginkan Hanum sejak lama.
3. Dan pasangan ini memang penuh dengan afeksi. Gimana nggak, ketika akhirnya sampai di Cordoba, mereka berdua langsung berpelukan padahal baru turun dari taksi. Ya sebelas dua belas lah sama Teletubbies yang suka berpelukan.
Kata Tiara, “Mereka berpelukan karena ingin saling menguatkan, San. Puk puk versi suami istri”.
Ada bagian yang sangat aku suka
dari film ini karena aku juga pernah mengalaminya ketika berada di Seoul, Korea
Selatan dan waktu itu aku belum berhasil memberikan penjelasan secara logis
tentang mengapa ada hal yang dilarang agama kami. Saat itu musim dingin, Rangga
dan temannya di kampus, Steve, berpapasan sambil menggigil.
Steve: *minum alkohol* Kamu mau? Ini bisa bikin kamu hangat
Rangga: Nggak makasih. Minum alkohol dilarang dalam agama saya. Itu dosa.
Steve: Kamu tau nggak, kalau musim dingin, alkohol itu lebih murah daripada air, jadi banyak gelandangan di Eropa yang minum alkohol selama musim dingin untuk menghangatkan badan mereka. Udah kamu minum aja daripada mati kedinginan.
Rangga: Saya lebih memilih kedinginan dan tidak berdosa. Kalau berdosa, berarti saya sama saja dengan setan yang ada di neraka.
Steve: Setan itu dari api kan ya? Neraka juga dari api? Hmm, sama-sama api tentu menyakitkan.
Rangga: Saya nggak tau gimana rasanya, nanti kamu tanyakan saja sama setan ketika kalian bertemu di neraka.
I should said it before L ada beberapa hal yang
nggak aku persiapkan ketika harus berangkat untuk menghadiri konferensi di
Seoul dua bulan yang lalu. Salah satunya adalah jawaban-jawaban tentang rasa
penasaran orang lain terhadap agamaku sendiri. Mengapa kami tidak boleh minum
bir, makan babi, bahkan kenapa kami harus sholat di waktu-waktu tertentu.
Oke, kembali pada topik 99 Cahaya
di Langit Eropa. Momen “bikin gigit jari” itu muncul lagi. Akhirnya Rangga
memperoleh gelar PhD nya. Saat itu Rangga dan Hanum sedang berpapasan dengan
Professor-nya Rangga, dan sang Prof pun berkata,”There is a wonderful lady
behind a great man”. Aku cuma bisa
teriak “COUNT ME IN” dalam hati. Mungkin untuk calon suami kelak.
Film ini pun mengandung adegan
nggak penting tapi kembali bikin gigit jari yaitu adengan pengantar sebelum
Hanum mendapatkan e-mail dari Fatma. Di trem,
Rangga: “Aku ganteng nggak?”
Hanum: “Ganteng dong”
……..krik. Mas, nggak sadar situ ganteng?
Finally, bagian yang selalu aku
tunggu. Turki.
Bagian yang emosional, untukku.
Aku selalu memimpikan Turki sejak tiga tahun yang lalu dan melewatkan
kesempatan untuk menjadi relawan sosial melalui AIESEC Winter Exchange di Turki
dua bulan yang lalu karena tidak mendapat restu dari kedua orang tuaku. Tapi,
bagaimana pun aku bersyukur belum diberi kesempatan merasakan hangatnya
toleransi Turki. Mungkin suatu saat nanti dengan misi yang lain.
Turki atau lebih tepatnya
Istanbul, adalah tempat terakhir di Eropa yang Hanum&Rangga kunjungi
sebelum kembali ke Indonesia. Scene Istanbul dibuka dengan tarian khas Turki,
tarian Sufi. Lalu menampilkan magnet utama Turki, Hagia Sophia. Magnet itu,
Hagia Sophia, adalah museum di mana simbol-simbol dua agama berdampingan dengan
mesra. Sayang, film ini tidak mengeksplorasi lebih jauh wisata religi di Turki.
Film ini macet hanya menampilkan Hagia Sophia dan menceritakan dengan panjang
bagaimana Fatma menghabiskan waktunya untuk merawat anaknya, Ayse. Kemudian
Yoko berbisik, “Ayo San, kita pasti bisa ke Turki”. Aamiiin.
Dan film ini ditutup dengan
Epilog perjalanan Hanum & Rangga di Baitullah. INI SUPER DUPER BIKIN GIGIT
JARI. Siapa sih yang nggak mau mengunjungi Rumah Allah? Perjalanan pasangan ini
juga singgah di Jabal Nur, sebuah benang yang menghubungkan perjalanan-perjalanan
mencari jejak islam oleh Hanum.
Jabal Nur, di mana cahaya itu
datang. Cahaya berupa wahyu pertama yang diperdengarkan pada Nabi Muhammad.
Iqro. Bacalah. Suatu perintah untuk membaca, menuntut ilmu.
“Eropa telah mengajarkanku
ilmu-ilmu yang pahit namun pada akhirnya manis, semanis madu. Ilmu itu akan
terus bersinar tak lekang oleh waktu”.
Picture source: soloblitz.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar