Kamis, 22 Februari 2018

Meletakkan jas putih sejenak

Mei, 2016


Hari ini tepat seminggu setelah aku bersumpah untuk menjalankan apa yang telah Hipokrates tuliskan. Akhirnya aku dapat menyematkan gelar dokter di depan namaku secara legal dan mengobati pasien dengan legal (setelah sebelumnya beberapa kali diminta menggantikan praktek dokter-dokter senior sebelum memiliki surat izin praktek secara resmi di masa pendidikan klinisku).

Menjadi dokter adalah satu proses panjang, bahkan setelah akhirnya bergelar dokter masih dalam dimensi proses pembelajaran yang sama ketika menjadi mahasiswa kedokteran. Ilmu-ilmu kedokteran yang terus berkembang dan ilmu-ilmu paten di masa lampau yang harus selalu kembali dipelajari menjadi pengingat bahwa menjadi dokter bukan suatu akhir, namun proses. Ada satu masa ketika aku menyadari bahwa menjadi dokter adalah hal yang begitu mengerikan. Mengapa? Karena dokter satu langkah lebih maju dari pasien, telah terbiasa bertemu dengan berbagai kasus yang ada dan menganalisis prognosis dari setiap kasus tersebut.

Masih jelas teringat dalam ingatanku, ketika aku berada di bulan-bulan akhir masa pendidikan klinisku di rumah sakit, ibuku menelpon seperti biasa selepas waktu isya. Beliau menyampaikan bahwa mbah kakung kami terinfeksi bakteri M tuberculosis dan aku hanya bisa meneteskan air mata di sudut telepon. Mungkin dokter ahli paru-paru sudah menjelaskan hal tersebut hanyalah infeksi paru-paru biasa sama halnya dengan infeksi tenggorokan yang biasa terjadi. Hal ini lazim mengingat daerah kami tinggal memiliki prevalensi yang tinggi untuk penyakit ini. Namun hal ini tentu mengerikan untukku, setelah melewati rotasi klinis di bangsal paru-paru di rumah sakit rujukan utama tingkat provinsi. Aku telah menjumpai pasien-pasien tuberkulosis dengan kondisi klinis yang sangat buruk, dengan komplikasi di organ tubuh lain, atau bahkan telah mengalami resistensi antibiotik lini pertama.

Setelah ibuku menutup panggilan itu, aku hanya bisa terdiam. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang terlintas di benakku. Beliau akan menghabiskan beberapa waktu terbaring di rumah sakit, kondisinya akan memburuk, dan yang pasti aku akan berusaha pulang di setiap waktu luangku untuk merawatnya. Beliau memahami kekhawatiranku dan mencoba menenangkan bahwa ini hanya infeksi biasa. Beliau yang sembuh dan kondisi klinisnya akan baik-baik saja. Beliau hanya perlu meminum obat setiap hari hingga enam bulan berikutnya, menjalani pemeriksaan radiologi pada paru-parunya untuk memantau penyebaran infeksi, dan semuanya akan baik-baik saja diakhir pengobatan.

Mungkin aku terlalu khawatir, namun aku cukup terpukul. Mengingat nenekku baru beberapa tahun yang lalu meninggal akibat sepsis yang merupakan komplikasi dari penyakit tuberkulosis tersebut. Masih terbayang dalam benakku, beliau hanya terbaring lemas di rumah sakit dan badannya begitu kurus, hingga tulang pinggulnya begitu menonjol. Memori itu selalu kembali karena hal itu cukup menyakitkan bagi kami karena beliau tidak pernah bercerita tentang penyakitnya dan  tentu saja tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat atas penyakitnya.

Pada awal pengobatan beliau, aku selalu berusaha pulang dengan cara menukar jadwal jagaku di akhir pekan agar bisa memantau kondisi mbah kakung kami. Kondisi fisiknya baik, Alhamdulillah, karena beliau cukup rajin untuk berolahraga. Namun batuk di malam harinya cukup parah. Alhamdulillah beliau tidak mengalami penurunan berat badan yang berarti, alih-alih beliau komplain dengan bobotnya yang terus naik, salah satu efek samping pengobatan tuberkulosis. Aku sampaikan bahwa air kencingnya akan berwarna merah dan beliau tidak perlu khawatir karena itu merupakan efek samping dari salah satu obat. Aku juga selalu mengecek apakah beliau mengalami efek samping pengobatan yang lain seperti pada pendengaran, penglihatan, dan saraf-saraf tepi.

Mungkin terdengar paranoid namun begitu adanya. Terlalu sering menjumpai pasien-pasien dengan tingkat keparahan cukup tinggi membuatku cukup khawatir dengan kondisi beliau. Namun Alhamdulillah, pengobatan enam bulan beliau telah selesai, hanya menunggu hasil radiologi dari gambaran paru-paru beliau. Penyakit ini memiliki tingkat kekambuhan yang cukup tinggi sehingga kami sarankan beliau untuk selalu menjaga daya tahan tubuhnya.

Dan aku kembali tersadar bahwa salah satu hal terpenting dalam hidup  adalah keluarga. Tempat di mana kita kembali, tempat di mana kita tau di mana kita harus pulang, itulah keluarga.


Selasa, 06 Februari 2018

Prelude: I've found you

After attending so much wedding in the last two years, I keep questioning my self why someone should be getting married in this age. When you don't have anyone to married with yet. I enjoyed being bridesmaid, meeting old friends in someone's wedding, taking congratulation pictures, and discussing about who's wedding to go next. Sure I was getting envy, seeing all my close friends were getting married. But after attending one wedding to another, I don't think I should. Everyone would get married in the end, it was just about the time. 

Being solo in the past 25 years made me comfortable with my self. I enjoyed travelling alone most of the time. It was a good time to sit in the corner of library only to finish my favorite books. Driving alone into rainy days and tuning my favorite songs was nothing miserable for me. It was indeed quality time for me. So as time went by, It didn't bother me for not looking a chance for getting married soon. Recently, I was enjoying my new internship life, engaging with the life being a doctor in the middle of society, and coping with emergency units life.

My plan was: I didn't want to marry that fast, I was planning for getting married later in 2018 when I got bored for being alone and I need to organize my life with someone, and I need to re arrange my life goal and reach it out together with someone else, both in dunya and akhirat. I was so sure if I still could do good deed, being helpful to other; it doesn't related with being married or not. I could do many good deeds for filling my single life and still getting Allah's blessing and getting the same chance to be in Jannah like any other married couple.

To be honest, the thing that made me afraid about getting married was I felt insecure about how our other half should stay with all of our imperfection. Thinking about how he would live with our true self, it stressed me out while our other half deserves to get someone better. Accepting a whole new person was hard, to take further, I also should learn about accepting his personality and past.

And I was assuring my self this year if I would get married, it must be because Allah, nothing else. I told me self if I get married it should be because of Allah, not because of my colleague were getting married one by one or being envy with others for getting in marriage life. So in the end, if I was about to give up, I would remind my self that it's all because of Allah that I should hold the commitment up forever.
Akad: Dec 17th 


So it was such a huge turn off for me, as he came to our family one day, to propose me. And all he did was enough to convince me for accepting his proposal less than a month.

Bismillah,
To share everything with someone else was hard enough, I still should.
To accept and to give.
To grow old and to grow up.

Because now I just feel safe, being with you that will make sure everything alright.
Alhamdulillah
Alhamdulillah ala kulli hal.

Jumat, 04 November 2016

H-22

Nggak ada sebulan, semua privilege ini bakal expired.
Kemudahan bebas keluar masuk rumah sakit kapan aja: pagi buta, tengah malam, atau bahkan telat sejam dari jam kunjung pasien. Atau bebas buka tutup status pasien, belajar dari hal-hal yang ditulis staff dan residen.Bisa keluar masuk IBS, berdiri tepat di sebelah operator, kalau sang operator baik hati, kadang bisa dikasih satu dua jahitan atau sekedang suction aja. Bisa ikutan visit, dijelasin ini itu, dipersilahkan periksa pasien dan nanya semua hal-hal penentu diagnosis. Ah...kapan lagi ya bakal boleh begini.

Kadang, terlalu banyak privilege yang kita punya kita lupa buat bersyukur dan lupa buat memanfaatkan sebaik-baiknya kemudahan dan kesempatan yang kita punya. Bakal sekangen itu kali ya,

Alhamdulillah untuk kesempatan-kesempatan yang mungkin udah kelewat terlambat untuk disadari. 



Selamat pagi :)

Rabu, 26 Oktober 2016

Diingatkan lagi bahwa:

Cuma diri kita sendiri yang tau bahwa kemampuan kita belum sampai batasnya. Menjadi dewasa adalah berdamai dengan penundaan untuk mencapai kemampuan maksimal yang kita punya. Menjadi dewasa adalah meyakini dengan kemampuan diri.

Kamis, 29 September 2016

Refleksi Nasionalisme Nara


source: Tribun News


Nasionalisme adalah hal krusial dengan harga mati yang harus dimiliki seluruh warga negara Indonesia. Klise memang kedengarannya. Tapi kalau bukan kita, warga Indonesia sendiri, siapa lagi? Lepas dari kontroversi mengenai paham nasionalisme yang tidak sesuai kaidah agama islam. Aku lebih memandang nasionalisme sebagai cara menjaga kedaulatan negara Indonesia melalui menjaga persaudaraan antar agama di negara ini. 

Jika nasionalisme ini sudah kadung luntur, ke mana identitas kita? Inilah negara kita, di mana kita tinggal dan kita dilindungi melalui peraturan perundangan dan hukum yang berlaku, sudah sepantasnya kita bangga menjadi bagian dari negara ini. Memupuk nasionalisme masih menjadi PR besar bagi generasi muda saat ini, di mana menjadi dan meniru budaya luar negeri dianggap lebih keren dan lebih sesuai dengan jaman yang modern ini. 



Aku secara pribadi kembali diingatkan kepada masalah nasionalisme ini melalui video yang dishare lebih dari 10.000 kali di facebook. Bintang dalam video tersebut bernama Nara Masista Rakhmatia. Nara merupakan diplomat junior dengan kedudukan sebagai Second Secretary at Permanent Mission of the Republic of Indonesia to the United Nations. Perempuan cantik ini begitu viral berkat pidatonya dalam Sidang Umum PBB ke-71. Dalam video tersebut, Nara membalas pidato yang dilontarkan Presiden Nauru, Presiden Kepulauan Marshall dan empat perdana menteri dari Kepulauan Solomon,Vanuatu, Tuvalu, dan Tonga. 

Pada sidang yang dijadwalkan membahas tentang implementasi SDGs (Sustainable Development Goals), 6 pemimpin negara tersebut menyayangkan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua dan Papua Barat. Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare mengatakan bahwa dugaan pelanggaran hak asasi manusia terkait dorongan untuk memerdekakan diri. 
"Para pemimpin tersebut memilih untuk melanggar piagam PBB dengan mengintervensi kedaulatan negara lain dan melanggar integritas teritorialnya"  
Nara melanjutkan bahwa pernyataan dari pihak ke-enam negara tersebut mencerminkan ketidakpahaman mereka terhadap sejarah situasi saat ini dan perkembangan progresif di Indonesia termasuk di Provinsi Papua dan Papua Barat. Bahkan Nara tidak segan mengulang dan menekankan pernyataannya mengenai intervensi kedaulatan dan pelanggaran integritas teritorial tersebut
Memang secara tersurat, Nara tidak menyangkal ada atau tidaknya pelanggaran hak asasi manusia. Ia hanya menyatakan,"Bapak Presiden, kami tegaskan kembali ada mekanisme domestik di tingkat nasional di Indonesia, pada pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Lepas dari kontroversi mengenai keefektifan mekanisme domestik untuk menangani isu-isu hak asasi manusia di Papua dan Papua Barat, kita diingatkan kembali pada isu-isu penting dalam negeri ini. Bukan malah sibuk mengurusi abg-abg labil yang populer di media sosial. Jangan sampai kita terlena dengan isu murahan yang digunakan untuk mengalihkan perhatian kita. 
Aku pribadi kembali diingatkan bahwa nasionalisme bukan tentang apa warna bendera kita dan di mana kita tinggal. Tapi dengan semangat nasionalisme ini kita secara sadar dituntut menjaga persatuan dan kesatuan negara ini juga kedaulatan negara ini melalui kontribusi kita yang tidak lain berasal dari kompetensi dan spesialisasi yang kita miliki. Coba bayangkan, jika negara ini terpecah belah, bagaimana hak-hak rasa untuk tinggal dengan aman yang kita tuntut bisa terwujud? Aku bukan mahasiswa hukum apalagi seorang negarawan dan ahli politik, namun tidak ada salahnya jika kita memiliki nasionalime bukan?
Video Pidato Nara Masista Rakhmatia

Rabu, 28 September 2016

DAY 19 - THINGS IN MY WALLET



Finally I push my self to start again and make another light blog post in order to make this page alive. It would be nice if I can regularly post something here, and sorry not sorry it definitely would left some of my awful writing tracks. To be honest, it is not a shameful thing since I write to learn and growing the skill. Well, it's not like I don't have any idea to make more post, but yes, I am just that awful to write. Sometimes I just have some kind random thought or what Inang said as "peep talk", but I never thought to elaborate and make a decent blog post.

I did promise my self to continue writing about things in my wallet since it has already in my more than half  30 days of challenge. I've alrd doing this challenge for about two years. It took more than TWO YEARS. Talking about procrastination (?). Procrastinate would be my forever obstacle to write.

So! Back to the point about my wallet, My wallet is red like I use in my blog graphic. It's a mediocre because I just dont know what colors should I take since my previous one was fine but my mother persisted to buy a new one. So I let her to choose as she would. And I could guess that she would choose red, talking about her preference. I do bring my wallet like literally everyday. One or two times I was like left my wallet, just because I thought without the wallet it was easier only to bring the money out. And I would find some moment where I realize that I should take the ATM with me or I am being regretful for bringing less money.

1. MONEY. In cash

Who wouldn't? There would be times I brought my wallet with full of recipient notes without money on it....


2. Debit cards
I have three of them but I am just frequently use one for daily needs. The other one was turned down years ago because it supposed as a saving account and a recent one was like money that I got from some kind part time job in my spare time that I've done. I've learned much since I was little about savings and I recommend anyone to follow @PritaGhozie in twitter since she had such simple advice on how to manage your money.
I am strongly refuse to use credit card even when I am in the middle need to use it like several years ago to book a flight, I will ask for help from some of my relatives. The reason is just like woman was born to love discount and promos. So, I thought it would wiser if I have cards that I could manage better now and the future. I am still learning how to manage my own money and not going insane in all of mega sale things or promos. 


3. ID cards

4. Member cards
As I said before I am not that insane to get such a membership discount or else. I just happen to have Taiwanese's bubble drink cards like if you had 10 alrd they would like to give you a free cup! (This is one of things that I couldn't resist). 
But I don't have such a coffee shops or lounges or else. I don't really like to hang out, this is just some people preference, no offense! Because some people maybe tend to be more productive if they are in good ambiance like in coffee shop or lounge.

5. Pictures
ID pictures in various size, in case anybody would ask it and ask me for sign. Lol. No.
I am in my clinical rotation that require me to go in and out in some of departement and they will ask for picture to complete the administration and things like that.


My wallet was like a simple one, not that much as you expect. Anybody would share them?
Like what else we can put in?



Kamis, 01 September 2016

DAY 18 - TOUCHED CONVERSATION

Kalau boleh diingat, ada banyak touched conversation yang secara nggak langsung sudah menjadi turning point dalam milestone dua puluh tahun terakhir; sebagai pelajaran atau hanya sekedar pengingat. Tapi untukku, lebih mudah untuk mengingat apa pesan di balik setiap conversation tersebut, bukan dengan siapa percakapan itu telah terjadi. Ada satu percakapan yang terjadi sudah lama, mungkin satu tahun yang lalu melalui layanan pesan LINE.

Sani: *insert Gambar 1D dan Kanye West*



Rurin: Hahaha kasian ya Kanye West dibully gara-gara terlalu mencintai dirinya

Sani: Hahahaha. One direction udah nggak sama lagi *insert crying sticker*

Rurin: Bye abang zayn malik. Kamu belajar agama ya biar makin ganteng. Huhuhu sedih

Sani: Mungkin mau jadi ustad *positive thinking*

Rurin: Aaamiin Ya Allah. Doain aja mungkin aja kan ya. Dia  bilang sih lelah dengan hingar binger. Pengen hidup bebas seperti orang biasa

Sani: Hahaha padahal kita yang orang biasa pengen merasakan hidup kayak dia

Rurin: Kadang emang kita suka kurang bersyukur ya. Huhuhu

Sani: Iyanih makanya sering ngerasa ada yang kuraaang terus di hidup

Rurin: Iya astagfirullah. Baru sadar kalo ada orang yang ternyata lebih menyedihkan dari kita dan lebih tegar.

Sani: Iya rin *insert crying stickers* Tumben kamu bener

Rurin: *insert signature dugong sticker*

Percakapan itu sebenarnya sekedar basa-basi biasa cuma buntutnya bikin aku diingatkan oleh sesuatu: Sudah bersyukur dengan yang sudah kita miliki dan kita rasakan sampai saat ini?
Terlalu sering kita, sebagai manusia, khususnya aku, membandingkan apa-apa yang sudah aku dapatkan dengan apa yang orang lain miliki.

Hingga pada suatu titik kita harus sadar bahwa hidup bukan melulu untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, hidup bukan melulu untuk memiliki apa yang juga sudah dimiliki orang lain, bukan. Tapi hidup adalah mengenai bagaimana kita bersyukur dengan apa yang sudah Allah SWT berikan. Melalui bersyukur, pasti kita akan sadar bahwa ternyata Allah sudah memberikan terlalu banyak hal, bahkan yang tidak kita mohonkan, bahkan yang tidak kita munjatkan, pun Allah berikan. Kurang baik apa sih Allah?
Padahal dengan bersyukur, Allah akan menambah rizki kita. Insya Allah

Jadi, sudah bersyukur hari ini?

ALHAMDULILLAH